“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”

Sabtu, 24 Desember 2011

Al Quran Di Bakar Kenapa Mesti Marah?

“Gila!” rutukku sesaat setelah membaca berita pembakaran Al-Quran yang dilakukan dua pendeta di Amerika, “Ini gila! Kita harus perang! Terkutuklah mereka!” Umpatan-umpatan dan caci-maki-ku keluar tanpa kontrol.



“Setan!” aku berteriak sekali lagi.



Tiba-tiba Tuan Setan muncul di hadapanku! Wajahnya penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu!” kata Tuan Setan tiba-tiba.



Jelas, aku berang mendengar ucapannya. Emosiku naik pitam. Dadaku turun naik. Dan seketika kutuk dan serapah membrudal dari mulutku. “Percuma selama ini aku mulai menaruh rasa simpati kepadamu! Kau ternyata memang pantas dilaknat dan dimusuhi! Terkutuklah kau!”



“Bakarlah Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, dengan nada yang lebih tegas. Matanya nyalang. Gigi-giginya gemertak. Lalu telunjuknya mengarah tepat ke wajahku. “Bakar!” ia berteriak, “Bakarlah kalau memang selama ini ia hanya menjadi kertas, bakarlah! Bakarlah!”



Napasku turun naik, mataku memerah, tanganku mengepal. “Terkutuklah kau!” teriakku lantang.



“Mana Al-Quranmu!?” bentak Tuan Setan.



Tiba-tiba aku tersentak. Tiba-tiba aku merasa harus menemukan Al-Quran milikku yang entah aku simpan di mana, sementara Tuan Setan terus menerus berteriak “Bakar! Bakarlah Al-Quranmu!” Aku terus mencari. Di manakah aku menyimpan Al-Quranku? Aku membongkar isi lemari, mengeluarkan buku-buku, berkas-berkas, tumpukan kliping koran, dan kertas-kertas apa saja dari dalam lemari. Di manakah Al-Quranku? Aku mulai resah mencari di mana Al-Quranku. Aku ke ruang tamu, ke ruang tengah, ke dapur, ke seluruh penjuru rumah. Aku memeriksa ke belakang lemari, ke sela-sela tumpukan kaset dan CD-CD, ke mana-mana. Tetapi, aku tak menemukan Al-Quranku! Di manakah aku menyimpan Al-Quranku?



“Bakarlah Al-Quranmu!” sementara Tuan Setan terus-menerus berteriak, “Bakar!”



Aku mulai panik dan resah, kemarahanku mulai pudar, ternyata aku tak bisa menemukan Al-Quranku sendiri.



“Bakarlah Al-Quranmu kalau itu hanya menjadi kertas usang yang kausia-siakan!” kata Tuan Setan tiba-tiba.



Dadaku berguncang hebat. Pelan-pelan tapi pasti aku mulai menangis—tetapi aku belum menyerah untuk terus mencari Al-Quranku. Di mana Al-Quranku? Ada sebuah buku tebal berwarna hijau di atas lemari tua di kamar belakang, aku kira itulah Al-Quranku, setelah aku ambil ternyata bukan: Life of Mao. Aku kecewa. Aku terus mencari sambil diam-diam air mataku mulai meluncur di tebing pipi.



“Bakarlah Al-Quranmu!” suara Tuan Setan kembali memenuhi ruang kesadaranku. Tetapi kini aku tak bisa marah lagi, ada perasaan sedih dan kecewa mengaduk-aduk dadaku. Ada sesak yang tertahan, semantara isak tangis tak sanggup aku tahan.



Akhirnya aku menyerah. Aku tak menemukan Al-Quranku di mana-mana di setiap sudut rumahku!



Kemudian Tuan Setan tersenyum menang, ia menyeringai dan menatapku dengan sinis. “Jadi, kenapa kau mesti marah saat ada orang yang membakar dan menginjak-injak Al-Quran?” Kemudian ia tertawa, “Lucu! Ini lucu! Mengapa kau mesti marah sedangkan kau sendiri tak mempedulikannya selama ini?”



Aku terus menangis. Dadaku berguncang. Tuan Setan tertawa. “Jadi, mengapa kau mesti mengutuk mereka yang menyia-nyiakan dan merendahkan Al-Quran sementara kau sendiri melakukannya—diam-diam?” katanya sekali lagi. Ada perih yang mengaliri dadaku, mendesir gamang ke seluruh persendianku.



Tiba-tiba aku ingat sebuah tempat: gudang belakang rumah. Barangkali Al-Quranku ada di situ!



Aku bergegas bangkit dari tubuhku yang tersungkur, aku berlari menuju gudang belakang, membuka pintunya, lalu menyaksikan tumpukan barang-barang bekas yang usang dan berdebu. Sebuah kotak tersimpan di sudut ruang gudang, aku segera ingat di situlah aku menaruh buku-buku bekas yang sudah tua dan tak terbaca. Seketika aku hamburkan isi kotak itu, membersihkannya dari debu, dan akhirnya… Aku mendapatkannya: Al-Quranku!



Aku menatap Al-Quranku dengan tatap mata rasa bersalah. Aku mengusap-usapnya, meniupnya, membersihkannya dari debu yang melekat di mushaf tua itu. Kemudian aku mendekapnya erat-erat—mengingat masa kecilku belajar mengeja huruf hijaiyyah, menghafal surat Al-Fatihah… “Astagfirullahaladzhim…” tiba-tiba dadaku bergemuruh, air mataku menderas.



Tuan Setan tertawa lepas. “Bakar saja Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, “Bukankah ia tak berguna lagi bagimu?” nada bicaranya mengejek.



Aku masih mendekap Al-Quranku, tergugu dengan dada seolah tersayat sembilu.



“Jika pendeta yang membakar Al-Quran itu mengatakan bahwa Al-Quran adalah buku yang penuh kebencian, bukankah mereka hanya menilainya dari perilaku yang kalian tunjukkan? Bila mereka mengira Al-Quran hanyalah kitab omong kosong dan Muhammad yang membawanya hanya nabi palsu yang berbohong tentang firman, bukankah itu karena kau—kalian semua—tak pernah sanggup menunjukkan keagungan dan keindahannya? Kau, kalian semua, harus menjelaskannya!



“Jangankan menunjukkan keindahan dan keagungan Al-Quran, membacanya pun kau tak! Jangankan menaklukkan musuh Tuhan sementara menaklukkan dirimu sendiri pun kau tak sanggup! Apa sih maumu? Al-Quran tak pernah mengajarkan permusuhan dan kebencian, Al-Quran tak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk, lalu kenapa kau terus-menerus melakukannya? Al-Quran selalu mengajarimu kebaikan, mengapa kau tak pernah mau mengikutinya? Heh, ya, aku baru ingat, jangankan mengikuti petunjuknya, memahami dan membacanya pun kau tak!



“Lalu kenapa kau harus marah ketika Al-Quran dibakar? Mengapa kau tak memarahi dirimu sendiri saat kau menyia-nyiakan Al-Quranmu? Ini bukan semata-mata soal pendeta yang membakar Al-Quran, ini bukan semata-mata soal pelecehan terhadap institusi agamamu, ini bukan semata-mata soal permulaan dari sebuah peperangan antar-agama, ini semua tentang kau yang selama ini menyia-nyiakan Al-Quran, tentang kau yang secara laten dan sistematis menyiapkan api dan bensin dari perilaku burukmu untuk menunggu Al-Quran dibakar lidah waktu yang meminjam tangan orang-orang yang membenci agamamu! Mereka tak akan berani membakar Al-Quran, kitab sucimu itu, kalau saja selama ini kau sanggup menunjukkan nilai-nilai agung yang dibawa Nabimu, nilai-nilai kebaikan yang termaktub dalam teks suci kitab yang difirmankan Tuhanmu! Maka bila kau tak sanggup menggemakan Al-Quran amanat nabimu ke segala penjuru, tak sanggup menerima cahayanya dengan hatimu, bakarlah Al-Quranmu! ”



Lalu seketika terbayang, Al-Quran yang teronggok sia-sia di rak-rak buku tak terbaca, Al-Quran yang diletakkan di paling bawah tumpukkan buku-buku dan majalah, Al-Quran yang kesepian tak tersentuh di masjid dan langgar-langgar, Al-Quran yang tak terbaca dan (di)sia-sia(kan)!



Aku menangis; memanggil kembali hapalan yang entah hilang kemana, mengeja kembali satu-satu alif-ba-ta yang semakin asing dari kosakata hidupku. Aku melacaknya dalam ingatanku yang terlanjur dijejali kebohongan, kebebalan, penipuan, dan pengkhiatan-pengkhiantan. Di manakah Al-Quran dalam diriku?



“Maka, bakarlah Al-Quran oleh tanganmu sendiri!” kata Tuan Setan, “Hentikan airmata sinetronmu, hentikan amarah palsumu, hentikan aksi solidaritas penuh kepentinganmu, hentikan rutuk-serapah politismu, sebab kenyataannya kau tak pernah mencintai Al-Quran! Bakarlah!”



Tuan Setan tertawa lepas.



“Maafkan…,” suaraku tiba-tiba pecah menjelma tangis, “Maafkan…,” lalu aku bergegas pergi dengan Al-Quran yang kugamit di lengan kananku.



“Bakar saja Al-Quranmu!” teriak Tuan Setan yang kutinggalkan di gelap ruangan gudang. Lamat-lamat tawanya masih ku dengar di ujung jalan.



Aku mencari masjid; Aku ke mal, ke pasar, ke terminal, ke sekolah, ke mana-mana… Aku ingin mencari mushaf-mushaf Al-Quran yang disia-siakan. Aku ingin membersihkannya dari debu dan mengajak sebanyak mungkin orang membacanya. Aku masih bergegas dengan langkah yang galau. Aku ingin mengabarkan keagungan dan keindahan Al-Quran, tapi bagaimana caranya? Sedangkan aku sendiri tak memahaminya? Aku ingin menggaungkannya di mana-mana, tapi bagaimana caranya?



Aku terus bertanya-tanya bagaimana agar Al-Quran tak dibakar? Bagaimana agar Al-Quran tak terbakar? Bagaimana?



Aku terus menangis dalam langkah-langkah gelisah yang bergegas, haruskah aku melawan semua ini dengan amarah dan kebencian? Ataukah aku harus menunjukkan kepada mereka semua yang membenci Al-Quran bahwa sungguh mereka telah keliru? Haruskah aku kembali marah dan membakar kitab suci mereka di mana-mana, atau akan lebih baikkah jika aku jawab mereka dengan cinta dan kasih sayang—meneladani Muhammad dengan menunjukkan kepada mereka kebaikan cahaya Al-Quran karena sesungguhnya mereka hanya belum tahu!?



“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bacalah!” tiba-tiba suara Tuan Setan datang lagi, “Biarkanlah mereka membakar mushaf sebab Al-Quran bukanlah kertas yang bisa mereka bakar. Bacalah Al-Quran hingga suaranya terdengar oleh hatimu, bergema di seluruh ruang kesadaranmu, maka kau tak akan kecewa mendapati mushaf-mushaf yang terbakar atau ayat-ayat yang teronggok di ruangan-ruangan tua berdebu buku. Sebab Al-Quran bukanlah mushaf, Al-Quran adalah semesta, nama di luar kata! Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.”



Aku terdiam mendengar kata-kata Tuan Setan yang terakhir, “Tuan Setan, sebenarnya siapakah kamu? Apa agamamu?”



Ia terkekeh, bahunya berguncang, “Akulah yang kau lihat dalam tidurmu: berlarian atau terbang atau tertawa tanpa suara, sesuatu yang lama kau idamkan tetapi lupa kau sapa. Akulah yang telah sengaja membakar Al-Quranmu!”



Ia terus terkekeh, terbatuk, lalu menghilang.



__Fahd Djibran__

0 komentar:

Posting Komentar


 
Powered by Blogger